"Ya Tuhan, mengapa Engkau memalingkan muka-Mu dan melupakan kesengsaraan dan penindasan kami?"
Ayat Mazmur 44:25 ini mencerminkan sebuah momen keputusasaan mendalam dalam kehidupan umat Allah. Sang pemazmur, mewakili seluruh bangsa Israel, mengangkat seruan pilu kepada Tuhan, mempertanyakan keberadaan-Nya di tengah-tengah penderitaan yang luar biasa. Kata-kata "mengapa Engkau memalingkan muka-Mu" menunjukkan rasa ditinggalkan, seolah-olah Tuhan yang selama ini menjadi pelindung dan penolong, kini berpaling dan menutup diri.
Kesengsaraan dan penindasan yang dialami bukan sekadar ujian sesaat, melainkan beban yang begitu berat, merampas sukacita dan kedamaian. Dalam konteks sejarah Israel, periode-periode seperti ini seringkali merujuk pada pertempuran yang kalah, penyerbuan oleh musuh, pembuangan, atau penganiayaan. Di tengah badai yang menerjang, ketika kekuatan manusia terasa habis dan harapan meredup, yang tersisa hanyalah pertanyaan: "Di mana Tuhan?"
Seruan ini bukan tanda ketidakpercayaan, melainkan sebuah ekspresi iman yang sedang bergulat. Ini adalah doa orang yang beriman, yang mengakui kekuasaan Tuhan namun tidak memahami mengapa kebaikan-Nya seolah absen. Mereka tahu Tuhan mampu menyelamatkan, mereka telah menyaksikan karya-Nya di masa lalu, namun kini, mereka merasa terabaikan dalam kesendirian yang menyakitkan.
Seringkali dalam perjalanan iman kita, kita juga mengalami momen-momen serupa. Ketika badai kehidupan menerjang, ketika rencana kita berantakan, ketika orang-orang terkasih menderita, atau ketika kita sendiri bergulat dengan penyakit dan kesedihan, pertanyaan "mengapa?" bisa saja muncul. Kita bertanya-tanya mengapa Tuhan membiarkan ini terjadi, mengapa pertolongan-Nya terasa begitu jauh. Mazmur 44:25 mengingatkan kita bahwa perasaan ditinggalkan dan kebingungan adalah bagian dari pengalaman manusiawi dalam hubungan dengan Tuhan, dan doa yang jujur, bahkan yang diwarnai keputusasaan, tetap memiliki tempat di hadapan-Nya.
Namun, penting untuk diingat bahwa Mazmur ini tidak berakhir pada pertanyaan. Kitab Mazmur secara keseluruhan adalah perjalanan iman yang dinamis, yang seringkali membawa pembacanya dari kerapuhan menuju peneguhan. Meski ada seruan keputusasaan, ada juga dasar harapan pada karakter Tuhan yang setia dan janji-Nya. Kisah Israel, dan kisah banyak orang beriman sepanjang sejarah, menunjukkan bahwa Tuhan tidak selamanya diam. Dia mungkin menguji iman, membiarkan kita bergumul untuk waktu yang tertentu, tetapi kesetiaan-Nya tidak pernah berakhir. Dalam kesendirian yang dirasakan, iman didorong untuk mencari kembali sumber kekuatan yang sejati, yaitu Tuhan sendiri, dan menanti waktu-Nya untuk kembali hadir dan memulihkan.
Oleh karena itu, Mazmur 44:25 menjadi pengingat bahwa di tengah kesengsaraan tergelap sekalipun, seruan kepada Tuhan tidak pernah sia-sia. Ia adalah panggilan untuk mengingatkan Tuhan akan janji-Nya, dan pada saat yang sama, sebuah undangan bagi diri kita sendiri untuk terus berpegang pada iman, percaya bahwa di balik awan gelap, Tuhan tetap memegang kendali dan memiliki rencana yang baik bagi umat-Nya.