Ayat ini dari Kisah Para Rasul pasal 20, ayat 7, membawa kita ke sebuah momen krusial dalam pelayanan Rasul Paulus. Cerita ini berlatar di kota Troas, sebuah kota pelabuhan penting di Asia Kecil. Keberadaan Paulus di sana merupakan bagian dari perjalanan misionarisnya yang ketiga. Peristiwa ini terjadi pada hari pertama dalam minggu, yang secara historis telah dikenal oleh orang Kristen sebagai hari kebangkitan Tuhan dan waktu yang istimewa untuk berkumpul.
Frasa "ketika kami berkumpul untuk memecah roti" adalah inti dari ayat ini. Dalam konteks gereja mula-mula, "memecah roti" bukan sekadar makan bersama. Ini adalah istilah yang merujuk pada perjamuan Tuhan (Perjamuan Kudus) yang memiliki makna spiritual yang mendalam, yaitu mengenang pengorbanan Kristus dan persekutuan dengan-Nya. Selain itu, pertemuan ini juga seringkali mencakup makan bersama yang erat kaitannya dengan perayaan iman dan persaudaraan.
Apa yang membuat pertemuan di Troas ini begitu berkesan adalah partisipasi aktif Rasul Paulus. Meskipun ia memiliki rencana untuk berangkat keesokan harinya, dan pertemuan itu berlangsung hingga tengah malam, Paulus tetap memberikan perhatian penuh kepada jemaat. Ia "berbicara kepada mereka" dan "meneruskan perkataannya". Ini menunjukkan dedikasi Paulus yang luar biasa dalam mengajar, menasihati, dan menguatkan saudara-saudari seiman.
Durasi pertemuan yang hingga tengah malam mengindikasikan betapa pentingnya apa yang disampaikan Paulus, dan betapa dalamnya kerinduan jemaat untuk mendengarkan. Ini adalah gambaran tentang semangat gereja mula-mula yang haus akan firman Tuhan dan persekutuan yang mendalam. Dalam kesibukan dunia yang terus bergerak, momen seperti inilah yang mengingatkan kita akan nilai dari berhenti sejenak, berkumpul, dan saling menguatkan dalam iman.
Kisah Rasul 20:7 memberikan banyak pelajaran berharga bagi gereja dan orang percaya masa kini. Pertama, pentingnya merayakan Perjamuan Tuhan secara teratur dan dengan pemahaman yang benar tentang maknanya. Ini adalah pengingat akan karya penebusan Kristus yang sentral bagi iman Kristen.
Kedua, ini menekankan kekuatan dari persekutuan jemaat. Berkumpul bersama, berbagi makanan (baik secara harfiah maupun rohani), dan mendengarkan ajaran firman Tuhan adalah fondasi penting bagi pertumbuhan rohani setiap orang percaya dan kesehatan gereja secara keseluruhan. Dalam dunia yang semakin individualistis, semangat kebersamaan seperti yang ditunjukkan oleh jemaat di Troas menjadi semakin berharga.
Terakhir, dedikasi Paulus dalam melayani, bahkan hingga larut malam, seharusnya menjadi teladan bagi para pemimpin rohani dan setiap orang percaya. Keinginan untuk memberikan yang terbaik dalam melayani Tuhan dan sesama, meskipun membutuhkan pengorbanan, adalah esensi dari pelayanan yang sejati. Pertemuan di Troas adalah bukti nyata bahwa iman yang hidup membutuhkan ekspresi yang nyata melalui persekutuan dan pengajaran yang berkelanjutan.