"Ketika Petrus pulang ke Yerusalem, orang-orang percaya dari golongan bersunat mengkritiknya. Mereka berkata, 'Engkau masuk ke rumah orang yang tidak bersunat dan makan bersama mereka.'"
Ilustrasi: Perjalanan iman yang menyatukan perbedaan.
Ayat ini dari Kisah Rasul 11:2 membawa kita pada sebuah momen krusial dalam perkembangan gereja mula-mula. Setelah penglihatan yang dramatis dan perjalanan yang dihadapinya, Rasul Petrus akhirnya tiba di Yerusalem. Kehadirannya disambut oleh orang-orang percaya yang berasal dari golongan bersunat, yaitu mereka yang sejak awal mengikuti tradisi Taurat dan hukum sunat. Namun, bukannya sambutan hangat tanpa pertanyaan, Petrus justru dihadapkan pada kritik tajam.
Kritik tersebut berbunyi, "Engkau masuk ke rumah orang yang tidak bersunat dan makan bersama mereka." Ungkapan ini mencerminkan ketegangan yang luar biasa pada masa itu. Di satu sisi, ajaran Yesus telah melampaui batas-batas etnis dan tradisi Yahudi. Di sisi lain, banyak pengikut Kristus yang masih bergumul untuk melepaskan diri dari warisan budaya dan hukum yang telah mengakar selama berabad-abad. Bagi mereka, berinteraksi, apalagi makan bersama, dengan orang-orang bukan Yahudi (gentiles) adalah sesuatu yang tidak biasa, bahkan dianggap melanggar norma keagamaan.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa pertumbuhan iman dan perluasan kabar baik tidak selalu mulus. Ada perbedaan pandangan, kekhawatiran, dan bahkan perdebatan di antara orang-orang percaya sendiri. Petrus, yang sebelumnya juga bergulat dengan prasangka, kini harus mempertanggungjawabkan tindakannya yang dianggap melanggar tradisi. Namun, kita perlu melihat konteks yang lebih luas. Pengalaman Petrus dengan Kornelius, seorang perwira Romawi yang saleh, telah mengubah pandangannya secara radikal. Melalui Roh Kudus, Petrus menyadari bahwa Allah tidak memandang bulu, dan bahwa keselamatan melalui Yesus Kristus ditawarkan kepada siapa saja yang percaya, tanpa memandang latar belakang suku atau status.
Kisah ini mengajarkan kita tentang pentingnya keberanian dalam memegang kebenaran Injil, meskipun itu berarti menentang arus pandangan umum atau tradisi yang sudah ada. Petrus tidak takut menjelaskan apa yang telah terjadi, bagaimana Allah sendiri yang membuka pintu bagi orang-orang bukan Yahudi untuk menerima anugerah keselamatan. Ia membagikan pengalamannya tentang bagaimana Roh Kudus turun ke atas Kornelius dan keluarganya sama seperti kepada orang Yahudi pada hari Pentakosta. Hal ini menjadi bukti kuat bahwa Allah sedang melakukan pekerjaan baru yang melampaui batas-batas yang diciptakan manusia.
Pergumulan ini menggarisbawahi tema penting dalam Kisah Rasul 11:2: penerimaan tanpa syarat dan kesatuan dalam Kristus. Gereja pada masanya harus belajar bahwa identitas orang percaya tidak lagi ditentukan oleh sunat jasmani atau kesukuan, melainkan oleh iman kepada Yesus Kristus dan penerimaan Roh Kudus. Ini adalah langkah maju yang monumental menuju universalitas Injil. Kisah ini mengingatkan kita bahwa dalam perjalanan iman, kita mungkin akan menghadapi tantangan dan pertanyaan dari sesama orang percaya yang masih berpegang pada pemahaman lama. Namun, dengan hikmat dan tuntunan Roh Kudus, kita dapat menjelaskan kebenaran dan menyaksikan bagaimana Allah bekerja melampaui segala prasangka. Ketaatan Petrus dalam mengikuti penglihatan ilahi, meskipun berisiko, membuka jalan bagi miliaran jiwa di kemudian hari untuk mengenal kasih Kristus.