Hakim Hakim 11:7

"Dan orang Gilead berkata kepada Yefta: "Baiklah, TUHAN akan menjadi saksi di antara kita, jika kita tidak berbuat sesuai dengan perkataanmu itu.""

Ilustrasi keadilan dan perjanjian Perjanjian Kesepakatan

Ayat Hakim-hakim 11:7 merupakan momen krusial dalam narasi Yefta, seorang pemimpin yang diasingkan namun kemudian dipanggil untuk menyelamatkan bangsa Israel. Konteks ayat ini adalah negosiasi antara Yefta dengan para tua-tua Gilead. Setelah diusir dari rumahnya, Yefta hidup di tanah Tob. Ketika orang Amon mulai berperang melawan Israel, para tua-tua Gilead menyadari bahwa mereka membutuhkan pemimpin yang kuat dan berani, dan pilihan mereka jatuh pada Yefta. Namun, Yefta tidak serta-merta setuju. Ia mengingatkan mereka tentang penolakan dan pengusiran yang pernah ia alami dari mereka.

Dalam dialog tersebut, Yefta tidak hanya sekadar meluapkan amarah, tetapi ia menuntut pengakuan dan keadilan. Ia mengajukan syarat: jika mereka memanggilnya kembali dan memberinya kedudukan memimpin, ia akan maju berperang melawan orang Amon. Para tua-tua Gilead, yang kini dalam posisi putus asa, akhirnya mengabulkan tuntutan Yefta. Ayat 11:7 menjadi pengesahan perjanjian ini. Kata-kata "Baiklah, TUHAN akan menjadi saksi di antara kita, jika kita tidak berbuat sesuai dengan perkataanmu itu" menunjukkan keseriusan dan kedalaman sumpah yang diucapkan. Ini bukan sekadar kesepakatan antar manusia, tetapi dipanggilnya Tuhan sebagai saksi ilahi.

Penting untuk memahami makna di balik sumpah ini. Bagi Yefta, memanggil Tuhan sebagai saksi adalah cara untuk memastikan bahwa janji para tua-tua itu tulus dan akan dipatuhi. Di sisi lain, bagi para tua-tua Gilead, ini adalah pengakuan bahwa mereka mengakui kesalahan masa lalu dan kini membutuhkan Yefta dengan sungguh-sungguh. Panggilan Tuhan sebagai saksi juga mencerminkan pandangan dunia Israel kuno, di mana perjanjian dan sumpah sering kali diperkuat dengan pemanggilan nama Tuhan, menunjukkan otoritas dan kebenaran ilahi yang menjadi jaminan.

Ayat ini memberikan beberapa pelajaran penting mengenai keadilan, kebijaksanaan, dan kepercayaan. Pertama, keadilan: Yefta menuntut keadilan atas perlakuan buruk yang diterimanya. Keadilan bukan hanya tentang hukuman, tetapi juga tentang pengakuan dan pemulihan martabat. Kedua, kebijaksanaan: Yefta tidak hanya bereaksi emosional, tetapi ia berpikir strategis. Ia tahu bahwa posisinya yang kuat dan pengalamannya sangat dibutuhkan, dan ia menggunakan kesempatan ini untuk menegaskan haknya dan mendapatkan kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya. Ketiga, kepercayaan: Panggilan Tuhan sebagai saksi adalah ekspresi kepercayaan pada kedaulatan dan kebenaran ilahi. Ini juga mengingatkan kita bahwa segala kesepakatan, terutama yang melibatkan tanggung jawab dan kepemimpinan, seharusnya dijalankan dengan integritas dan akuntabilitas di hadapan Tuhan.

Kisah Yefta, yang dimulai dengan penolakan dan diakhiri dengan kepemimpinan dan kemenangan, mengajarkan bahwa bahkan dalam situasi yang sulit, keadilan bisa ditegakkan, dan orang yang dianggap terbuang pun dapat dipanggil untuk memainkan peran penting. Perjanjian yang diawali dengan kalimat tegas dalam Hakim-hakim 11:7 ini kemudian membuktikan keampuhannya ketika Yefta akhirnya memimpin Israel menuju kemenangan atas orang Amon, menggenapi kehendak Allah di tengah bangsa-Nya.