Ayub 35:15

"Tetapi sekarang, oleh karena penderitaan tidak ditengking, dan karena mereka terbiasa menindas, Allah tidak menjawab keluh kesah orang yang tertindas."

Ketika Keadilan Terasa Jauh

Ilustrasi tentang tantangan dan harapan.

Ayat Ayub 35:15 mengemukakan sebuah realitas yang seringkali membingungkan dan menyakitkan dalam pengalaman manusia: mengapa penderitaan terus berlanjut sementara teriakan minta tolong seolah tak terdengar? Ayat ini, yang diucapkan oleh Elihu, salah satu sahabat Ayub, menawarkan sebuah perspektif yang berbeda mengenai hubungan antara penderitaan, ketidakadilan, dan respons ilahi. Ia menyoroti bahwa terkadang, penderitaan tidak segera diatasi, bukan karena Tuhan tidak peduli, tetapi karena keadaan dan perilaku manusia yang kompleks.

Frasa "penderitaan tidak ditengking" dapat diartikan bahwa penderitaan itu sendiri tidak selalu merupakan hukuman langsung yang segera dihentikan oleh Tuhan. Ada kalanya penderitaan datang sebagai ujian, sebagai bagian dari proses pendewasaan, atau sebagai konsekuensi dari dunia yang jatuh. Elihu juga menambahkan bahwa keadaan "terbiasa menindas" menjadi faktor kunci. Ketika penindasan menjadi norma, ketika ketidakadilan merajalela dan tidak dihentikan, teriakan dari mereka yang tertindas bisa terabaikan oleh hiruk pikuk kekacauan.

Hal ini tidak berarti Tuhan acuh tak acuh. Sebaliknya, ayat ini justru memicu refleksi yang lebih dalam. Mengapa Tuhan terkadang membiarkan situasi seperti itu? Salah satu kemungkinan adalah agar keadilan itu sendiri, pada akhirnya, akan ditegakkan dan diakui. Ketika penderitaan dan penindasan terus berlanjut tanpa intervensi langsung yang jelas, hal itu dapat menguji iman, kesabaran, dan harapan seseorang. Ia memaksa kita untuk mencari jawaban yang lebih dalam daripada sekadar pembalasan instan.

Ayub sendiri telah mengalami penderitaan yang luar biasa, kehilangan segalanya, dan mempertanyakan keadilan Tuhan. Sahabat-sahabatnya mencoba memberikan penjelasan, seringkali dengan mengaitkan penderitaannya dengan dosa yang pasti ia lakukan. Namun, pandangan Elihu di sini sedikit berbeda. Ia menunjukkan bahwa situasi itu bisa jadi lebih rumit, melibatkan dinamika sosial dan keengganan Tuhan untuk campur tangan secara langsung dalam setiap detail ketidakadilan yang disebabkan oleh tindakan manusia, setidaknya pada saat itu.

Namun, penting untuk tidak salah menafsirkan ayat ini. Ini bukanlah izin bagi manusia untuk menindas, atau pernyataan bahwa Tuhan sepenuhnya mengabaikan penderitaan. Sebaliknya, ini adalah undangan untuk memahami bahwa hikmat ilahi bekerja dengan cara yang melampaui pemahaman manusia yang terbatas. Terkadang, jawaban atas doa-doa kita tidak datang dalam bentuk penghentian penderitaan yang instan, melainkan dalam kekuatan untuk bertahan, dalam penemuan makna di tengah kesulitan, dan dalam penegasan keadilan yang akan datang di waktu yang tepat.

Bagi mereka yang sedang mengalami penderitaan dan merasa doa mereka belum terjawab, ayat ini bisa menjadi pengingat bahwa Tuhan mendengar. Mungkin waktu dan cara-Nya berbeda dari yang kita harapkan. Ini mendorong kita untuk terus mencari kebenaran, keadilan, dan penghiburan, sambil tetap percaya bahwa ada tujuan yang lebih besar yang sedang berjalan, bahkan ketika kita tidak dapat melihatnya dengan jelas. Menghadapi penderitaan, kita dipanggil untuk memegang teguh iman, mencari kebaikan, dan menantikan waktu Tuhan yang sempurna untuk keadilan dan pemulihan.