Kitab 2 Tawarikh mencatat perjalanan rohani dan politik para raja Yehuda. Di pasal 17, kita diperkenalkan dengan Yosafat, seorang raja yang naik takhta menggantikan ayahnya, Asa. Namun, yang membuat Yosafat menonjol bukanlah hanya kedudukannya, melainkan pilihan-pilihan hidupnya yang mendalam. Ayat 3 dari pasal 17 ini memberikan gambaran yang sangat jelas tentang inti dari keberhasilan dan keberkatan yang dialami Yosafat. Ia dikenal karena "hidup di jalan yang benar yang ditempuh Daud, bapa leluhurnya, dan tidak mengikuti para Baal." Pernyataan ini bukan sekadar pujian, melainkan fondasi dari segala sesuatu yang baik yang kemudian terjadi dalam pemerintahannya.
Jalan yang ditempuh Daud adalah jalan kesetiaan kepada Tuhan, ketaatan pada firman-Nya, dan penolakan terhadap penyembahan berhala yang marak di zaman itu. Daud, meskipun memiliki kekurangan, secara konsisten kembali kepada Tuhan dan menjadikan-Nya pusat kehidupannya. Yosafat, dengan meneladani jejak leluhurnya ini, menunjukkan pemahaman yang mendalam tentang apa yang dikehendaki oleh Tuhan dari seorang pemimpin. Ini adalah pilihan sadar untuk membedakan diri dari praktik-praktik keagamaan yang menyimpang dan menyembah dewa-dewa asing yang menjauhkan umat dari Sumber kehidupan yang sejati.
Ayat ini menegaskan sebuah prinsip universal: ketika seorang individu, terutama seorang pemimpin, memilih untuk hidup dalam kebenaran dan kesetiaan kepada Tuhan, Tuhan sendiri akan menyertai dan memberkati mereka. Frasa "TUHAN menyertai Yosafat" bukanlah sekadar ungkapan keberuntungan, melainkan janji ilahi yang terwujud sebagai hasil dari ketaatan. Penyertaan Tuhan ini bukan hanya dalam aspek spiritual, tetapi juga tercermin dalam keberhasilan pemerintahannya, stabilitas kerajaannya, dan kemampuannya untuk menghadapi ancaman-ancaman yang datang.
Di masa ketika banyak raja di Israel dan Yehuda justru terseret dalam kemerosotan moral dan spiritual, termasuk penyembahan kepada Baal yang merupakan simbol kesuburan dan kekuatan alam yang dikaitkan dengan praktik-praktik amoral, Yosafat justru mengambil arah yang berlawanan. Ia dengan tegas menolak segala bentuk penyembahan berhala dan memfokuskan diri pada ibadah kepada Tuhan Yang Mahatinggi. Keputusan ini bukan tanpa konsekuensi; ia harus berani berbeda, bahkan mungkin menghadapi tentangan. Namun, imbalannya adalah kedamaian dan kemenangan yang lebih besar daripada yang bisa dicapai hanya dengan kekuatan manusia.
Kisah Yosafat dalam 2 Tawarikh 17:3 memberikan pelajaran yang sangat relevan bagi kita saat ini. Dalam dunia yang penuh dengan godaan, nilai-nilai yang bergeser, dan berbagai "berhala" modern seperti kekayaan, popularitas, dan kesenangan duniawi, panggilan untuk tetap hidup di jalan kebenaran dan kesetiaan kepada Tuhan tetap sama kuatnya. Sama seperti Yosafat yang menolak mengikuti arus kebudayaan yang menyimpang, kita pun dipanggil untuk memegang teguh prinsip-prinsip ilahi.
Keberkatan dan penyertaan Tuhan bukanlah sesuatu yang datang secara otomatis, melainkan respons terhadap hati yang tulus dan kaki yang melangkah di jalan-Nya. Dengan mencontoh Yosafat, kita belajar bahwa mengutamakan Tuhan dalam segala aspek kehidupan, menolak godaan yang menjauhkan kita dari-Nya, dan hidup sesuai dengan firman-Nya adalah kunci untuk mengalami kedamaian, kekuatan, dan bimbingan ilahi yang sejati. 2 Tawarikh 17:3 adalah pengingat kuat bahwa kesetiaan kita kepada Tuhan akan mendatangkan penyertaan-Nya yang berharga.